ID-SIRTII mendapat permintaan dari Densus 88 untuk mengintai tersangka kasus terorisme.
(digiactive.org)
VIVAnews - Di antara kerumunan massa di Lapangan
Tahrir Kairo Mesir, lelaki kurus dengan janggut yang sebagian telah
memutih, menenteng sebuah kertas kardus.
Di atas kardus itu tertulis kalimat dalam bahasa Arab. "
Syukran Syabab Mishr
(Terima kasih, pemuda Mesir)." Di bawah tulisan Arab itu, terpampang
jelas tulisan latin yang lebih besar dengan spidol merah. "Facebook."
Momen itu diabadikan oleh wartawan NBC Robert Engel dan kemudian
beredar luas melalui jejaring mikroblog Twitter. Facebook dan Twitter
memang memiliki peran sentral dalam memobilisasi aksi massa demonstran
di Mesir, yang kemudian berhasil menumbangkan Presiden Hosni Mubarak.
Tak heran bila kemudian seorang bayi yang lahir di wilayah Ibrahimya,
Mesir, diberi nama 'Facebook' untuk mengabadikan momentum revolusi
Mesir, yang dimulai dari situs jejaring sosial itu.
Di dalam negeri, kekuatan jejaring sosial juga tercatat dalam
berbagai peristiwa besar, mulai dari mobilisasi dukungan terhadap Prita
Mulyasari hingga gerakan pembebasan pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto
dan Chandra M. Hamzah.
***
Kehebatan jejaring sosial dalam menghimpun masa dan menyampaikan
pesan dalam sekejap ke jutaan orang ternyata juga mengundang intelejen
untuk mengawasinya.
Seperti dikatakan Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), Sutanto, bahwa
intelijen akan memantau penggunaan jejaring sosial yang mengarah ke
teror dan subversif. "Yang membahayakan tentu kami pantau, yang arahnya
teror dan subversif tentu kami pantau," kata Sutanto seusai rapat dengan
Komisi I DPR, Selasa 22 Maret 2011,
Namun, kata Sutanto, BIN hanya menjadi lembaga yang membantu
memberikan informasi dini. Data awal itu nantinya akan diserahkan kepada
Menteri Komunikasi dan Informatika. "Menkominfo yang akan menentukan
langkahnya."
Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Kominfo,
Gatot S Dewabroto, menjelaskan bahwa proses pemantauan dan pengintaian
terhadap akun Facebook atau Twitter terhadap seseorang tak bisa
dilakukan dengan mudah.
Pasalnya, beberapa regulasi mengatur hal ini dengan ketat. Misalnya,
Undang-Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, pasal 40 dan 42, melarang
adanya penyadapan informasi apapun kecuali adanya permintaan dari Jaksa
Agung dan Kepala Kepolisian RI, atau pihak penyidik.
Selain itu, kata Gatot, peraturan di Undang-Undang No 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), juga mengaturnya
secara ketat di pasal 27-35. "Artinya, ini harus dilakukan secara
rigid, hati-hati, sesuai peraturan, agar benar-benar tidak melanggar hak
pribadi seseorang."
Dia menambahkan, pemantauan terhadap jejaring sosial, secara teknis
juga sangat sulit mengingat besarnya trafik pengakses situs jejaring
sosial dari Indonesia. "Trafik jejaring sosial di sini per hari bisa
mencapai 50-60 juta."
Pengawasan bisa dilakukan bila memang sudah ada target yang jelas.
Upaya itu pun dasarnya harus benar-benar kuat sehingga tidak melanggar
hak asasi seseorang. Gatot mengakui, hal tersebut sudah pernah dilakukan
dalam aksi pemantauan untuk pemberantasan kasus terorisme.
Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure
(ID-SIRTII), lembaga pengawasan keamanan jaringan telekomunikasi
berbasis protokol internet, mendapat permintaan dari Densus 88 untuk
mengintai tersangka kasus terorisme. "Namun ID SIRTII hanya sebatas
memberikan catatan log file trafik data yang bersangkutan," kata Gatot.
Wakil Pimpinan DPR dari Fraksi PKS, Anis Matta, mendukung upaya
pengawasan di situs jejaring sosial Twitter dan Facebook. Syaratnya,
kata dia, pengawasan itu tidak mengganggu kebebasan masyarakat dalam
bertukar informasi.
"Rencana ini bagus, namun tidak harus mengganggu kebebasan
masyarakat," katanya kepada wartawan, di kantornya, Selasa 22 Maret
2011. Ia juga mengatakan bahwa tak mungkin pemerintah bisa mengawasi
semua akun Twitter atau Facebook, karena banyaknya pengguna kedua situs
tersebut.
Indonesia sendiri memiliki lebih dari 35 juta pengguna Facebook dan merupakan negara kedua terbesar pengguna Facebook setelah Amerika Serikat.
Sementara di ranah Twitter, Indonesia berada di peringkat tiga
terbesar setelah Amerika Serikat dan Brazil, dengan persentase tweet
14,52 persen dari seluruh tweet yang berseliweran di Twitter
Oleh karenanya, menurut Anis, sebaiknya akun-akun yang telah
diketahui bermasalah saja yang perlu diawasi dan ditelusuri, agar tidak
menimbulkan kecemasan di masyarakat.
• VIVAnews
0 komentar:
Post a Comment