|
Persda/Bian Harnansa (bian) kompas.com
|
Mari mendengar Yogyakarta. Kamis kemarin, 30 September 2010,
Paguyuban Perangkat Desa propinsi itu yang bergabung dalam Parade
Nusantara DIY--secara terbuka mendukung referendum yang diusulkan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Usulan referendum itu disampaikan Sultan,
Selasa 28 Oktober 2010.
|
Sultan Hamengku Buwono X (Antara/ Regina Safri) |
Referendum yang diusulkan itu, bukan memilih bergabung dengan
Indonesia atau tidak. Tapi untuk menentukan apakah gubernur dan wakilnya
dipilih langsung lewat proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),
sebagaimana yang terjadi di daerah lain atau dengan cara penetapan.
Sultan otomatis jadi gubernur dan Sri Pakualam otomatis jadi wakil.
Penetapan seperti ini sudah berlaku sejak Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai gubernur dan Sri
Pakualam VIII sebagai wakil gubernur itu sesuai dengan Undang-undang
Nomor 5 tahun 1974 tentang DIY. Repotnya, undang-undang itu hanya
mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur saat dijabat oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII, dan sama sekali tidak
mengatur suksesinya.
Walhasil sesudah Sri Pakualam VIII wafat 1998, terjadi kekosongan
penguasa di Yogyakarta. Pemerintah pusat, DPRD Yogyakarta dan Keraton
berdebat sengit soal ini.
Atas desakan rakyat, pemerintah pusat kemudian menetapkan Sri Sultan
Hamengkubuwono X sebagai gubernur. Wakilnya belum ada, sebab suksesi di
Pakualam saat itu belum selesai. Setelah Sri Pakualam IX naik tahta, dia
kemudian ditetapkan sebagai wakil gubernur tahun 1999.
Tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Perwakilan Rakyat (MPR),
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang 1945. Dalam perubahan , soal
daerah istimewa dibahas dalam pasal 18B. Pasal itu menyebutkan bahwa
keistimewaan suatu daerah akan diatur secara khusus dalam undang-undang.
Mengacu pada pasal 18B itu, tahun 2002 pemerintah DIY, mengusulkan
rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Usulan itu dikembalikan
ke pemerintah Yogya lantaran ada yang menolak pengangkatan gubernur
lewat penetapan itu. Ketika masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono
berakhir tahun 2003, polemik kembali mencuat. Bagaimana memilih gubernur
berikutnya.
Lalu muncul tiga usulan. Dipilih langsung oleh rakyat lewat Pilkada,
dipilih oleh DPRD dan penetapan langsung sebagaimana yang berlangsung
sebelumnya. Atas desakan rakyat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian
dilantik menjadi gubernur untuk masa jabatan 2003-2008.
Untuk kedua kalinya, tahun 2006 pemerintah Yogyakarta mengajukan usul
RUUK keistimewan Yogyakarta. Usulan itu kemudian mental lagi, karena
sejumlah kalangan tidak setuju, terutama soal mekanisme penentuan
pemerintah daerah itu.
Entah karena terkatung-katungnya nasib RUUK keistimewan itu, pada
hari ulang tahunnya ke 61 tanggal 7 April 2007, Sri Sultan mengeluarkan
pernyataan yang dianggap bersejarah dalam masyarakat Yogya. Setelah masa
jabatannya selesai 2008, Sultan tak mau lagi menjadi gubernur.
Rakyat Yogya menolak dan bertanya soal niat Sultan itu. Sultan lalu
menjelaskan sikapnya itu dalam acara Pisowanan Agung, 18 April 2007,
yang dihadiri 40 ribu orang. Lagi-lagi atas desakan rakyat, pemerintah
pusat kemudian melantik Sri Sultan sebagai gubernur hingga oktober 2011.
Jelang 2011 RUUK soal Keistimewaan itu belum juga dibahas di DPR.
Rancangan itu masih tangan Departemen Dalam Negeri. Sejumlah kalangan
menilai bahwa Sultan merasa pemerintah pusat tidak iklas dengan
keistimewaan Yogyakarta itu.
Itu sebabnya Sultan mengusulkan agar sebelum pemerintah menyerahkan
rancangan ke DPR, sebaiknya tanya kepada rakyat Yogya. Bertanya kepada
rakyat itu, kata Sultan, sama artinya dengan referendum,
Fatoni Rustam, Kepala Penelitian dan Pengembangan DPD Parade
Nusantara DIY ,menegaskan bahwa, Pernyataan Sultan tersebut sebagai
salah satu solusi alternatif dari kebuntuan pembahasan rancangan
undang-undang itu." Sudah dua kali pergantian DPR namun juga belum
selesai,” protes Fatoni.
Tolak Referendum
Banyak yang setuju, tapi ada juga yang menolak. Fraksi Keadilan
Sejahtera DPRD Provinsi DIY tegas menolak wacana referendum yang
dilontarkan Sri Sultan itu. “Kamii tetap pada keputusan partai bahwa
setelah tahun 2018, harus ada pemilihan untuk jabatan gubernur dan wakil
gubernur, jika payung hukum yang jelas belum ada,” tegas Agus
Sumartono, Sekretaris Fraksi Keadilan Sejahtera DPRD Provinsi DIY,
Kamis, 30 September 2010.
Menurut Agus, tugas gubernur berikutnya
adalah mempersiapkan pelaksanaan pilkada 2018. “Tugas gubernur DIY pada
periode 2013-2018 adalah mempersiapkan pemilukada. Tapi jika sudah ada
payung hukum (RUUK) yang jelas maka harus mengikuti aturan yang ada,”
terangnya.
Selain itu, kata Agus Sumartono, referendum yang
digagas oleh Sri Sultan itu sama sekali tidak memiliki landasan hukum.
Karena tidak memiliki landasan hukum, maka nanti akan sia-sia belaka.
Sultan Kecewa
Wakil Ketua DPR dari Partai
Golkar, Priyo Budi Santoso, menilai bahwa jika referendum benar-benar
dilaksanakan, maka pemerintah pusat akan mengantang malu. “Rakyat
Yogyakarta pasti akan menuruti kehendak rajanya, Sri Sultan Hamengku
Buwono X,” kata Priyo, di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 30
September 2010.
Priyo menilai bahwa usulan referendum itu adalah bentuk kekecewaan
Sri Sultan atas ketidakikhlasan pemerintahan pusat. "Usulan referendum
itu sebetulnya ekspresi kegetiran beliau yang bertumpuk-tumpuk atas
sinyal yang tak kunjung menyala dari pemerintah pusat," kata Priyo.
Priyo
menjelaskan, sebagian besar fraksi di DPR sebenarnya sudah tidak ada
masalah dengan posisi Gubernur DIY dipegang Sultan. "Kami mendukung
gagasan substansi dari keistimewaan DIY bahwa Sultan langsung ditetapkan
sebagai gubernur," kata Priyo.
Namun, kata Priyo, pemerintah
terkesan tidak mau menyetujui klausul tersebut. Priyo menyarankan
kepada pemerintah untuk jangan ragu-ragu menyetujui klausul otomatisnya
Sri Sultan Hamengku Buwono X itu menjadi Gubernur DIY.
"Saya
minta Mendagri segera berkonsultasi dengan Presiden dan bisa menyambut
ajakan yang sangat bersahabat dari rakyat Yogya," kata Priyo.
Priyo
menjelaskan bahwa selama ini DIY berstatus istimewa karena ketika awal
kemerdekaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penguasa kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan kesediaan kerajaannya bergabung
dalam NKRI.
"Itu luar biasa lho dalam keadaan seperti itu, waktu
itu. Mestinya yang begini dihormati sebagai kenyataan sejarah. Jangan
kemudian malah dipertanyakan," ujar Ketua Golkar itu.
Laporan: KDW | Yogyakarta
• VIVAnews
0 komentar:
Post a Comment