Pikiran Rakyat, hari ini memberitakan pernyataan Menkominfo Tifatul Sembiring yang mengatakan, 97,2 % siswa SMP Pernah Membuka situs porno, tak hanya itu dia juga menyatakan, Indonesia adalah negara pengakses web porno terbesar kedua di dunia. Predikat ini tentu saja bukan sesuatu yang membanggakan, apalagi kalau yang menjadi pengakses setia dari situs-situs tersebut berasal dari anak-anak yang masih di bawah umur.
Pernyataan Pak Tifatul tak berhenti disitu, ia juga menyampaikan fakta lain yang tak kalah mencengangkan, menurutnya, sebanyak 67,1 % siswa SMP mengaku pernah melakukan hubungan sex dan 91 % dari mereka juga pernah melakukan kissing,petting atau oral sex. Fakta ini disampaikan sang menteri, berdasarkan survey yang dilakukan pada 4500 siswa di 12 kota besar di Indonesia. Meski tidak menyebut lembaga yang melakukan survey tersebut, namun data-data yang disampaikan ini dipastikan akan semakin menimbulkan kekhawatiran para orangtua menghadapi kenyataan anak-anak mereka telah berada di sebuah zaman yang sangat sulit dan menakutkan.
Bisa dipastikan, kebebasan dalam mengakses konten-konten buruk di internet menjadi salah satu pemicu terjadinya perilaku para remaja kita yang semakin meninggalkan ajaran agama, etika, norma bahkan adab sebagai orang timur. Inilah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa ini, di era keterbukaan informasi dan teknologi. Sayangnya hingga hari ini, pemerintah terlihat tak berdaya untuk mengatasi dampak buruk dari hal tersebut.Ketidakberdayaan ini secara imflisit diakui oleh Menkominfo, ia mengaku tak mudah memblokir web porno yang ada di Indonesia, menurutnya keuntungan industri porno di dunia maya bisa mencapai 100 milyar dolar AS per tahun dan Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar yang cukup menjanjikan.
Pemerintah nampaknya menghadapi dilema dalam mengatasi dampak buruk dari internet terutama dikalangan remaja, meski mengaku sudah memblokir 90 % web porno di Indonesaia, ternyata tidak serta merta menyelesaikan masalah, apalagi web-web tersebut setelah diblokir akan bermetamorfosa dengan nama web yang tidak berbau pornografi tapi tetap saja didalamnya berisi konten-konten vulgar. Parahnya lagi situs-situs web tersebut berasal dari luar negeri sehingga dipastikan tetap aman karena berada di luar jangkauan hukum Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, menurut Pak Tifatul blokir yang efektif adalah “Iman”. Orangtua diharapkan bisa mengawasi dan mengajarkan etika berinternet yang baik kepada anak.
Menyerahkan pengawasan kepada orangtua di sisi lain juga bukan solusi karena sebagian besar para remaja menghabiskan waktunya berselancar di dunia maya di luar rumah. Pemerintah dituntut untuk terus bekerja keras dengan memandang permasalahan ini dari berbagai sudut secara komferhensif hingga ditemukan jalan keluar yang efektif. Jadi kalau pemerintah hanya berpangku tangan dan hanya membiarkan sebagai wacana, kita tinggal menunggu kehancuran generasi bangsa.
Sumber
0 komentar:
Post a Comment